Banyuwangi - Pagelaran Festival Gandrung Sewu 2018 berlangsung sukses. Festival ini menunjukkan pesan dan kesan tersendiri.
Meski sempat ada penolakan dari DPW-FPI Banyuwangi, aktivitas tersebut sukses digelar. Tidak ada penertiban ataupun pembubaran event budaya tersebut.
Kegiatan ini dimulai dengan tari Kuntulan. Kesenian Islami ini ditarikan oleh sekitar 150 penari dan penabuh rebana. Lantunan Salawat dilantunkan di lautan pasir di Pantai Boom Banyuwangi, Sabtu (20/10/2018).
Kejadian perang menciptakan banyak prajurit tewas untuk membela Mas Alit. Itu menciptakan banyak anak menjadi yatim dan bersedih. Saat itulah beberapa penari Gandrung lawas mencoba menghibur dengan melatih tari Gandrung anak yatim pejuang Blambangan.
(Ardian Fanani/detikTravel) |
"Jangan hingga Gandrung punah. Jangan hingga ada yang menghancurkan budaya," ujar salah satu pemain fragmen.
"Dengan ilmu hidup kita lebih mudah, dengan seni hidup lebih indah, dengan agama hidup lebih terarah. Masuk Pak Eko," tambah pemain fragmen tersebut.
BACA JUGA: Menpar: Gandrung Sewu Kembali Masuk Kalender Wisata Nasional 2019
Di final kisah Festival Gandrung Sewu menceritakan Mas Alit yang meninggal dunia, sehabis adanya perompak yang menyerang kapal Mas Alit di Sedayu, Gresik. VOC yang notabene yakni penjajah Belanda, membujuk dan mengajak Mas Alit dalam sebuah pertemuan Bupati. Padahal hal itu hanyalah sebuah budi bulus belaka.
Meninggalnya Mas Alit tentu menciptakan rakyatnya bersedih. Mereka hanya dapat berdoa, untuk mengenang atas usaha Mas Alit membela rakyat Banyuwangi.
Dia dan Salawat dilantunkan oleh para penari Gandrung dan pemain fragmen. Sebagai doa untuk Mas Alit.
(Ardian Fanani/detikTravel) |
(Ardian Fanani/detikTravel) |
Post a Comment